Sunday, October 02, 2005

profil

Kota Tebing Tinggi

SILAKAN datang ke Tebing Tinggi. Cobalah lemang kami. Undangan ini berlaku bagi siapa saja yang berniat mengunjungi daerah yang namanya cukup banyak dipakai di Pulau Sumatera itu. Lemang, makanan khas Minang, juga menjadi trademark Kota Tebing Tinggi. Sejak zaman kolonial Belanda, lemang masuk kota ini melalui salah seorang pengungsi dari Sumatera Barat. Hingga kini, makanan yang terbuat dari beras ketan dan santan kelapa itu banyak diproduksi secara rumahan di kawasan Jalan KH Ahmad Dahlan, Kecamatan Padang Hulu.

ADA cukup banyak industri rumahan di Tebing Tinggi. Apalagi, kota ini dikenal sebagai wilayah yang mengandalkan industri dan perdagangan. Sebagai penyumbang kegiatan ekonomi terbesar, sektor industri tidak bisa mengesampingkan keberadaan industri-industri kecil dan rumahan yang tersebar di tiga kecamatan. Kedua jenis industri ini yang digolongkan sebagai usaha kecil menengah (UKM) dan hingga tahun 2001 mencapai 263 unit dari total 289 perusahaan, mendukung sektor industri pada umumnya.

Industri kecil dan rumahan banyak memilih jenis makanan sebagai produk seperti mi, kerupuk, dan gula merah. Sementara industri besar dan sedang adalah pengolahan karet (crumb rubber) dan tapioka. Bahan baku getah karet didatangkan dari luar Tebingtinggi, umumnya dari Kabupaten Labuhan Batu dan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Komoditas ini kemudian diolah oleh tiga perusahaan yang dua di antaranya berlokasi di Kecamatan Padang Hilir dan satu di Kecamatan Rambutan. Hasil olahan karet mentah berupa SIR (Standard Indonesia Rubber) atau karet setengah jadi yang diminati oleh Korea, Jepang, Cina, Amerika Serikat, serta negara-negara Eropa.

Jika industri pengolahan karet murni mengandalkan bahan baku dari luar, industri tepung tapioka justru memakai ubi kayu lokal sebagai bahan dasar pembuatan. Produk tapioka ini selain untuk konsumsi lokal dan regional, sekitar 20 persen dipasarkan ke Malaysia. Pelaksanaan ekspor belum langsung oleh perusahaan tepung tapioka tersebut. Pemasaran dilakukan dengan menumpang pada perusahaan lain. Itu dilakukan bukan karena kendala biaya, melainkan lebih pada ketidakmampuan manajerial perusahaan bersangkutan.

Letak geografis Kota Tebing Tinggi yang diapit wilayah kaya sumber daya alam seperti Kabupaten Deli Serdang, Kota Pematang Siantar, dan daerah lain di Sumatera Utara serta Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menjadi peluang potensial menggerakkan roda perekonomian. Lalu lintas antarkota menjadikan wilayah ini daerah transit.

Peluang ini cukup dilirik pengusaha lokal. Mereka membuat semarak kegiatan ekonomi Tebing Tinggi dengan mendirikan toko dan rumah makan. Jasa perbankan hadir melayani penduduk melalui sejumlah bank di pusat kota, seperti BNI, Bank Mandiri, dan Bank Central Asia. Satu peluang ekonomi yang masih kurang direalisasikan adalah penyediaan jasa penginapan atau hotel. Hanya ada dua hotel kelas melati di pusat kota. Meski hanya dua jam perjalanan darat dari Kota Tebing Tinggi ke Kota Medan yang kaya akan fasilitas penginapan, bukan berarti kota kecil ini tidak butuh penginapan. Adanya penginapan yang layak bisa jadi membantu menjaring pendatang transit di kota ini untuk sekadar melepas lelah dan menikmati suasana kota, yang tergolong salah satu kota tua di Sumatera Utara.

Besarnya ketergantungan pada industri dan perdagangan terlihat dari nilai kegiatan ekonomi daerah setiap tahunnya. Pada tahun 2001, dari total Rp 836,3 miliar kegiatan ekonomi yang dihasilkan, 23 persen berasal dari industri pengolahan. Dari nilai industri tersebut, industri besar dan sedang mendominasi dengan pangsa pasar 20 persen. Dari 20 persen itu, 19 persen disumbang oleh industri karet. Delapan golongan industri lain, seperti makanan, tekstil, dan kertas, menyumbang satu persen. Setelah sektor industri di tempat pertama, perdagangan besar dan eceran di tempat berikutnya menyumbang sekitar 18 persen.

Maraknya industri kecil dan rumahan juga terlihat dari banyaknya rumah-rumah penduduk yang menggeluti usaha pembuatan sapu ijuk, alat-alat dapur dari logam, dan arang kayu. Jenis usaha lain yang cukup membutuhkan kreativitas tinggi adalah pembuatan mebel rotan. Sayangnya, keterbatasan kreativitas perajin mebel menyebabkan model produk tidak berkembang. Ini menjadi salah satu penyebab pasar kurang merespons mebel rotan Tebing Tinggi.

Sebagai daerah yang mengandalkan perputaran ekonomi dari industri dan perdagangan, Tebing Tinggi belum bisa memberi pelayanan terbaik untuk itu. Dari empat pasar besar di kota ini, tiga di antaranya lebih banyak menjual kebutuhan makanan pokok. Satu pasar lainnya khusus menjual kain. Belum ada pasar grosir atau pusat perbelanjaan yang menyediakan segala kebutuhan. Meski pemerintah kota melalui Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi menginginkan hal itu terwujud, belum ada investor yang tertarik menanamkan uangnya membangun pusat perbelanjaan. Saat ini, segala kebutuhan penduduk tersedia di toko-toko kecil yang umumnya di pusat kota.

Sektor industri dan perdagangan memang membutuhkan investor untuk pengembangannya. Apalagi, pemerintah kota tidak memprioritaskan keduanya dalam pembangunan. Dalam belanja pembangunan pemerintah yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun 2003, sektor perdagangan, pengembangan usaha daerah, keuangan, dan koperasi menempati tempat kedelapan dari 13 sektor. Dana yang dikucurkan sebesar Rp 547 juta atau 1,2 persen dari total belanja pembangunan Rp 46,1 miliar. Dari Rp 547 juta tersebut, hampir 90 persen dianggarkan untuk proyek penyertaan modal atau saham pemerintah yang diwujudkan antara lain dengan pemberian modal usaha bagi UKM, biaya pendidikan dan latihan (diklat), bantuan pengadaan peralatan, dan pameran perdagangan. Selain dana APBD, beberapa perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di kota ini seperti PT Askrindo dan PT Jasa Marga turut memberikan bantuan berupa modal bergulir, khususnya kepada pengusaha UKM setiap tahun. Palupi P Astuti/Litbang Kompas

0 Comments:

Post a Comment

<< Home