Sunday, October 02, 2005

And head!

Salaam Juang!

Rumah Baca Sartika ialah rumah baca pertama dan satu-satunya di kota Tebingtinggi Deli *dan satu-satunya tempat umum penyedia jasa perpustakaan di kota tersebut! * baru saja dibuka.

Para pengurus adalah orang-orang yang dulunya aktif di kegiatan kepanduan / pramuka dan sangat peduli terhadap peningkatan pelayanan pendidikan di Indonesia, terutama di wilayah Sumatra Utara, khususnya Tebing Tinggi Deli.

Sebagai daerah transit, kota ini lebih dikenal sebagai kota dagang dengan mayoritas penduduk muslim yang berasal dari beragam etnis antara lain Melayu, Minangkabau, Batak dan turunan Tionghoa.

Saking minimnya dukungan dari pemerintah, maka Rumah Baca Sartika ini pun sangat menyedihkan kondisinya. Dengan koleksi dan fasilitas yang sangat terbatas, untuk sementara ini menempati lokasi di Jl. Asrama 19 - Bagelen, Tebing Tinggi Deli 20346 (lihat peta atau image ini . 85 kms sebelah tenggara Medan, ke arah Danau Toba).

Sistem pengelolaan Rumah Baca saat ini telah mendapat sumbangan software temu kembali informasi, namun sayangnya belum memiliki PC dan ruang yang memadai.

Bagi rekan-rekan yang berminat menyumbangkan buku-buku, majalah, tenaga dan fasilitas lain, silahkan segera hubungi Ibu Nana atau Bapak Roesman di telp. 0621.23967 atau langsung ke alamat: Jl. Asrama 19 - Bagelen, Tebing Tinggi Deli 20346

Website akan di-update dengan berita-berita kegiatan dan tampilan foto-foto sehingga dapat membantu rekan-rekan melihat gambaran Rumah Baca Sartika. Saran dan dukungan akan sangat membantu.

Terima kasih.

sejarah dulu ..

Deli Tua, Situs Sejarah yang Terlupakan

SELAIN wisata alam Danau Toba dan alam pegunungan di Bukit Lawang, Sumatera Utara (Sumut) masih mempunyai beberapa segi wisata, antara lain wisata sejarah.Salah satu wisata sejarah di Sumut yang belum banyak dikenal orang adalah menelusuri sejarah Kerajaan Haru, yang merupakan salah satu cikal bakal kesultanan yang melahirkan Istana Maimoon di Medan. Sejarah Kerajaan Haru pulalah yang memadukan masyarakat Karo, Melayu, dan Aceh pada sebuah pertalian.

Berdasarkan catatan sejarah, pada abad ke-15, Kerajaan Haru itu termasuk salah satu kerajaan terbesar di Sumatera, setara dengan Kerajaan Pasai dan Malaka. Saat ini, di wilayah bekas Kerajaan Haru ini telah berdiri sebelas kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera Utara bagian timur, yaitu Langkat, Binjai, Medan, Deli Serdang, Karo, Tebing Tinggi, Simalungun, Pematang Siantar, Asahan, Tanjung Balai, dan Labuhan Batu.

Pertalian Aceh, Karo, dan Deli bisa dilihat dari hal ini. Sultan pertama Kerajaan Deli yakni Tuanku Panglima Gocoh Pahlawan. Ia adalah Panglima Perang Aceh yang ditempatkan di sekitar wilayah Kerajaan Haru. Penempatan tersebut dilakukan untuk meredam pemberontakan terhadap Kerajaan Aceh pada masa Raja Iskandar Muda. Setelah menguasai ibu kota Kerajaan Haru di Deli Tua, Gocoh Pahlawan meminang putri keturunan Karo dan mendirikan Kerajaan Deli di tempat yang sama.

Salah satu Keturunan Gocoh Pahlawan adalah Sultan Ma'moen Al-Rasyid Perkasa Alamsyah, yang membangun Istana Maimoen pada akhir abad ke-19. Istana itu bahkan masih berdiri megah hingga saat ini di tengah Kota Medan, Sumatera Utara.

***

MENJELAJAHI situs Kerajaan Haru adalah sebuah keasyikan tersendiri. Lokasi bekas ibu kota Kerajaan Haru itu terletak

sekitar lima kilometer dari Pasar Deli Tua Baru di Jalan Deli Tua, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, pada daerah yang udaranya masih bersih. Cocok untuk trekking sambil berwisata.

Setelah melalui jalan aspal beberapa saat, perjalanan ke situs itu kemudian dilanjutkan dengan melewati jalan berbatu dan sempit, menyusuri pinggiran Sungai Deli dan menyeberangi sebuah jembatan gantung yang bergoyang saat dilewati.

Usai melewati jembatan gantung, sampailah kita pada jalan yang diberi nama Jalan Pancur Gading. Nama ini diberikan, sebab di sepanjang jalan tersebut akan ditemui dua dari sebelas pancuran air yang dikeramatkan penduduk setempat. Masyarakat setempat mempercayai bahwa pancuran-pancuran air tersebut, dulunya, sering digunakan oleh penduduk di Kerajaan Haru, mulai dari raja hingga dayang-dayang kerajaan.

Kini, semua pancuran air tersebut telah dibuat permanen. Mata air yang turun langsung dari bukit tersebut ditampung dalam sebuah bak tembok setinggi satu setengah meter. Air tersebut kemudian dikeluarkan melalui dua buah pipa plastik yang tidak pernah ditutup sehingga airnya yang jernih itu mengalir terus-menerus.

Pancuran yang terbesar, yaitu berasal dari tiga titik keluaran air, terletak setelah kita melewati pancuran pertama yang berada di pangkal Jalan Pancur Gading. Penduduk setempat mempercayai bahwa pancuran terbesar itu merupakan tempat Putri Hijau, salah seorang penguasa terakhir Kerajaan Haru, untuk mandi. Situs sejarah bekas Istana Kerajaan Haru berada dekat dengan pancuran yang kedua itu. Pada hari libur atau akhir pekan, puluhan orang bermalam di pancuran ini.

***

KINI kita sudah dekat dengan situs sejarah peninggalan Kerajaan Haru. Dengan menaiki satu bukit lagi, sampailah kita di sana.

Akan tetapi, jangan membayangkan akan menjumpai runtuhan istana atau serakan batu candi misalnya. Situs itu kini hanya menyisakan gundukan tanah dengan tinggi sekitar lima meter dan lebar empat meter sehingga membentuk parit-parit yang dalam dan panjang. Gundukan tanah tersebut dibangun sebagai benteng pertahanan Kerajaan Haru saat menghadapi serangan laskar Sultan Aceh Alaiddin Mahkota Alam Johan Berdaulat atau Sultan Alaiddin Riayat Shah Al Qahhar.

"Orang Karo zaman dulu membangun rumah atau istana semata dari kayu. Jadi, tidak ada peninggalan yang bisa kita rasakan saat ini," kata Darwan Perangin-angin, seorang tokoh masyarakat Karo yang mengarang buku "Adat Karo".

Bukti bahwa gundukan tanah tersebut digunakan sebagai benteng pertahanan jaman Kerajaan Haru adalah letak gundukan tanah itu yang mengelilingi tanah datar yang ada di atas bukit itu. Tepat di atas tanah datar itulah tempat Istana Kerajaan Haru dan permukiman penduduk Kampung Deli Tua dulu berada. Sementara, letak gundukan tanah yang menghadap ke arah Sungai Deli dimaksudkan untuk menangkal serangan dari musuh yang masuk lewat laut melalui aliran Sungai Deli.

Dengan berada di situs bekas Istana Haru, kita merasakan betul bahwa lokasi istana itu sangatlah strategis. Dengan membayangkan bahwa keliling istana itu dulu dikelilingi pohon bambu, terasa betul betapa kuat dan strategisnya lokasi Istana Haru terhadap serangan musuh mana pun.

***

MASIH ada hal lebih menarik untuk kita telusuri. Perjalanan dilanjutkan ke permukiman penduduk yang terdekat dengan situs sejarah ibu kota Deli Tua tersebut, yaitu Dusun 1, Kampung Deli Tua, di Kabupaten Deli Serdang. Sekitar abad ke-15, kampung ini merupakan ibu kota Kerajaan Haru dengan nama yang sama yakni Deli Tua.

Sebagai bagian yang menyatu dengan bekas reruntuhanibu kota Kerajaan Haru, yang masih tertinggal di dusun ini hanyalah ceritera-ceritera legenda yang dimiliki oleh hanya sebagian penduduknya, yang diperoleh mereka secara lisan turun-temurun dari orang tuanya. Maka, mampirlah ke sebuah kedai kopi di sana, dan dengarkan berbagai ceritera menarik dari penduduk, misalnya dari Nambun Sembiring Milala (71).

Di kampung tersebut, hanya Nambun yang masih menyimpan ceritera-ceritera legenda, seperti Putri Hijau yang mempunyai dua orang saudara yang berubah wujud menjadi naga dan meriam puntung. Legenda rakyat yang berkembang tentang Kerajaan Haru, pada beberapa bagian, memperoleh penguatan dari bukti-bukti yang ditemukan oleh penduduk Kampung Deli Tua itu sendiri.

Kisah tentang kemenangan laskar dari Sultan Aceh dalam perang melawan Kerajaan Haru, misalnya dari kisah mata uang dirham (deraham dalam bahasa Karo), yang berbentuk logam dan konon yang terbuat dari emas. Uang logam emas bertuliskan huruf Arab tersebut digunakan pasukan Aceh untuk memancing pasukan Haru keluar dari bentengnya.

Bukti bahwa peristiwa penyebaran uang logam tersebut terjadi bisa kita dapatkan dari ceritera para penduduk di sini. Nambun mengatakan sudah pernah menemukan lima keping uang logam emas yang dipercaya pernah digunakan oleh pasukan Kerajaan Aceh tersebut. Uang-uang emas itu ia temukan di sekitar pekarangan rumahnya pada sekitar tahun 1970.

"Sudah saya jual. Waktu itu, sekitar 10 tahun lalu, satunya masih laku Rp 4.000. Sekarang saya tidak menyimpan satu pun. Di sekitar sini juga pernah ditemukan patung naga terbuat dari emas dan pada bagian matanya dari berlian. Tapi, sudah diamankan polisi saat itu juga," kata lelaki kelahiran tahun 1931 itu menambahkan.

Bukan hanya Nambun, Ngirim Ginting juga mempunyai pengalaman sama, hanya saja benda bersejarah yang ditemukannya berbeda. Ngirim menceritakan bahwa ia pernah menemukan sarung keris yang terbuat dari emas, serta beberapa peluru timah berbentuk bulat. Sarung keris berlapis emas itu kemudian ia jual ke Pasar Deli Tua Baru, sedangkan peluru-peluru timah itu ia lebur dan dijadikan sebagai vas bunga di rumahnya.

"Saya jual sarung keris itu waktu harga emas masih
Rp 2.000 segramnya. Hampir semua penduduk di sini pernah menemukan uang logam emas Deraham itu, tapi pasti dijual. Terakhir masih ada yang menemukannya tahun kemarin," kata Ngirim.

Satu-satunya penduduk yang masih menyimpan uang logam tersebut adalah seorang ibu, penduduk dusun yang sama, yang enggan disebut namanya. Uang emas berdiameter kurang dari satu sentimeter itu ditunjukkannya kepada Kompas untuk difoto.

Berhiaskan kaligrafi dalam huruf Arab dan ukiran berbentuk bulat di sekeliling pinggiran lingkarannya, uang dirham itu memang tampak sangat tua. Penduduk setempat menyebut kaligrafi itu sebagai tulisan berbahasa Aceh.

Namun, baik Nambun maupun Ngirim mengakui, mereka sama sekali tidak mengetahui bahwa uang logam tersebut bernilai sejarah yang tinggi. Mereka tidak mengerti bagaimana sebuah uang emas tipis seperti itu mampu mengungkapkan jati diri dan sejarah keluarganya. Ia hanya mengetahui bahwa uang logam tersebut terbuat dari emas 24 karat dan bernilai uang jika dijual.

"Mereka juga tidak mengerti bahwa selama ini rumah yang mereka diami berada di sebuah bekas ibu kota kerajaan besar di zaman dahulu. Mereka tidak sadar bahwa dusun tempat mereka tinggal adalah sebuah situs sejarah yang mengenaskan karena tidak tersentuh usaha perlindungan sejarah, dan segera akan terlupakan," ujar Darwan. (m02)

sastra

"Hikayat Deli" Gambaran Pluralisme Sastra Indonesia

Medan, Kompas

Teks Hikayat Deli yang didominasi kisah peperangan yang dipimpin oleh Tuanku Gojah Pahlawan adalah wujud keberagaman budaya sastra Indonesia. Hikayat yang juga menceritakan silsilah keturunan raja-raja di Sumatera Timur-Deli ini, juga bertujuan memperluas wilayah kekuasaan, dan menjadikan keberagaman budaya sebagai alat mencapai tujuan.

Demikian disampaikan Wan Syaifuddin, staf pengajar Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara (USU), dalam Pertemuan Ilmiah Nasional (Pilnas) XII Himpunan Sarjana Kesusasteraan Indonesia (Hiski) di Medan, Rabu (6/10). Menurut dia, Hikayat Deli adalah bagian dari khazanah kesusasteraan Indonesia lama/klasik.

"Hikayat ini ditulis pada pertengahan abad ke-18 oleh seorang pujangga Kesultanan Deli pada masa pusat kekuasaan di Medan Poeteri-Kesawan, Sumatera Timur-Deli dan naskah aslinya ditulis dalam asksara Arab Jawi," jelas Syaifuddin.

Penyalinan aksara latin dari hikayat ini, menurut Syaifuddin, dilakukan oleh Temenggung Kesultanan Deli pada tahun 1923.

Menurut Syaifuddin, karya sastra yang terlahir dari pujangga kerajaan dari kalangan istana ini tidak membiaskan kehendak "miring" dari penguasa. "Jalinan peristiwa di dalam hikayat ini mengungkapkan berbagai persoalan masyarakat dan penguasa. Ia ditulis karena keperluan masyarakat berdasarkan restu raja, bukan karena kebijakan penguasa," ujar Syaifuddin.

Dari dua belas makalah yang disampaikan dalam pertemuan yang berlangsung tiga hari ini, Hiski berusaha mendapatkan solusi dari kehidupan berbangsa dan bersastra yang saat ini seolah berjalan sendiri-sendiri. Menurut Ahmad Samin Siregar, editor dari ke-12 naskah tersebut (seluruhnya ada 31 makalah yang dihimpun Hiski), dalam menghadapi permasalahan tersebut harus ada upaya untuk menjalin benang merahnya. (p10)

fakta

Masyarakat Melayu Sumut Kian Terpinggirkan

Stabat, Kompas

Sebagian besar masyarakat etnis Melayu di Sumatera Utara (Sumut) kini semakin terpinggirkan, bahkan sebagian di antaranya masih dililit kemiskinan. Penyebabnya antara lain karena etnis yang dikenal sebagai penduduk "pribumi" kawasan pantai timur Sumut ini cukup lama terbuai oleh kekayaan alam di sekitarnya.

"Dari situ pula etos kerja suku Melayu memudar dan pada gilirannya membuat sumber daya manusia (SDM) Melayu tercecer di belakang dibanding etnis lainnya," kata Tengku Luckman Sinar, Wakil Ketua Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia (MABMI) Sumut di sela-sela seminar tentang otonomi daerah di Stabat, Langkat (sekitar 44 kilometer arah barat Medan), Selasa (6/6) lalu.

Dibuka oleh Bupati Langkat H Syamsul Arifin, seminar antara lain menampilkan pembicara Prof Dr Hajjah Mariam Darus SH, Prof Dr H Bahauddin Darus, Prof Syamsul Arifin SH, Dr Hermayulis SH, dan H Ok Saidin SH Hum. Syamsul Arifin meminta supaya seminar bukan malah menjadikan Melayu etnis eksklusif, tetapi sebaliknya bisa menjadi perekat antaretnis yang ada di Sumut.

Masyarakat hukum adat Melayu Sumatera Timur meliputi Kesultanan Langkat (Kabupaten Langkat sekarang), Kesultanan Deli (Kotamadya Medan dan sebagian Kabupaten Deliserdang), Kesultanan Serdang (sebagian Deliserdang dan Kotamadya Tebingtinggi), Pemerintahan Suku Batubara (wilayah Kabupaten Asahan), Kesultanan Asahan (sebagian Asahan dan Kotamadya Tanjungbalai), Kerajaan Bilah, Panai dan Kuwalu (Kabupaten Labuhanbatu).

Suku bangsa Melayu pesisir Sumatera Timur berdiam di propinsi Sumatera Utara bagian timur. Daerahnya dari dataran pantai ke barat hingga ke dataran berbukit-bukit, mulai dari Kabupaten Aceh Timur, Langkat, Deliserdang, Asahan sampai ke Labuhanbatu. Suku Melayu ialah golongan bangsa yang menyatukan dirinya dalam pembauran ikatan perkawinan antarsuku serta memakai adat atau resam (kebiasaan) Melayu secara sadar dan berlanjutan, termasuk bahasanya.

Secara terpisah, antropolog Prof Dr Usman Pelly MA mengatakan, terpinggirkannya etnis Melayu di Sumut karena terninabobokan dengan keadaan masa lalunya. Pada masa lalu, etnis ini dikenal suka bekerja keras sehingga mampu menguasai sektor perikanan, perdagangan, pertanian termasuk perkebunan. Saking makmurnya, guru-guru mengaji, penghulu dan khatib salat Jumat pun mendapatkan gaji yang besar dari kerajaan atau sultan.

Namun, karena terninabobokan terlalu lama, mereka lalai dan lupa diri sehingga lama kelamaan kekayaan itu hilang dan berpindah kepada etnis pendatang. Terbukti, sedikit sekali tokoh-tokohnya yang masuk dalam jalur birokrasi, menguasai perdagangan atau petani andal. Kalaupun ada di birokrasi, umumnya di Departemen Agama.

Seminar itu sendiri, menurut ketua panitia H Fachruddin Ray maupun Luckman Sinar yang juga dikenal sebagai sejarawan, adalah bagian dari upaya mengejar ketertinggalan di berbagai sektor kehidupan agar etnis Melayu tidak lagi menjadi masyarakat yang terpinggirkan.

Dalam kesimpulan seminar, masalah pemberdayaan ekonomi di sektor pertanian dan perikanan merupakan skala prioritas bersamaan dengan penggalakkan pembangunan desa pantai. Hak atas tanah ulayat harus direalisasikan dengan mendesak pemerintah daerah mengeluarkan peraturan daerah. Di samping itu, yang tak kalah penting, pengelolaan hutan bakau (mangrove) di Langkat dicabut dari PT Sari Bumi Bakau karena konstribusi perusahaan ini tidak ada kepada masyarakat. (smn/sp)

pendidikan - katanya..

Pendidikan
Tebing Tinggi Kucurkan Anggaran Lebih Besar

Medan, Kompas - Guna memacu sektor pendidikan, Pemerintah Kota Tebing Tinggi, Sumatera Utara, sejak lima tahun belakangan terus mengucurkan anggaran pendidikan yang cukup besar. Langkah itu sejalan dengan keinginan semua potensi daerah ini untuk menjadikan Kota Tebing Tinggi sebagai ”Kota Pendidikan” di Sumatera Utara.

Kepala Bagian Informasi dan Komunikasi Kota Tebing Tinggi Tarmizi Simanjuntak mengungkapkan itu kepada Kompas di Medan, Selasa (28/6).

Menurut Tarmizi, dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kota Tebing Tinggi, anggaran pendidikan selalu dikucurkan lebih besar dibanding kebutuhan lain. Tahun 2004 lalu misalnya, untuk pendidikan dianggarkan dana sekitar 18,7 persen dari total APBD yang mencapai Rp 56 miliar lebih. Dari tahun ke tahun pun, secara riil dana pendidikan terus diperjuangkan naik dari sebelumnya.

”Ketika di daerah lain di Sumut banyak gedung sekolah dan ruang belajar rusak parah, di Tebing Tinggi kondisinya sudah lumayan bagus. Semuanya sudah direhabilitasi dan bahkan sebagiannya ada yang dibangun baru,” katanya.

Tarmizi memberi contoh, pada tahun 2001 misalnya, dari 725 ruang belajar yang ada di Tebing Tinggi, pada saat itu hanya sekitar 39 persen saja yang kondisinya baik. Akan tetapi, tiga tahun kemudian, yakni tahun 2004, jumlah gedung sekolah dan ruang belajar di Tebing Tinggi dalam kondisi baik meningkat menjadi sekitar 85 persen. (zul)

politik

Golkar Kalah di Tebing Tinggi

Medan, Kompas - Dewan Pimpinan Daerah Partai Golkar Tebing Tinggi, Sumatera Utara, mengakui, pihaknya kalah telak dalam pemilihan kepala daerah langsung, Selasa (26/7). Pasangan calon wali kota Darwinsyah-HW Gunadi yang diusung Golkar dalam pilkada itu hanya meraih suara paling sedikit dibanding pasangan lainnya.

Sesuai penghitungan Desk Pilkada Kota Tebing Tinggi hingga Rabu (27/7) malam, pasangan Darwinsyah-Gunadi hanya meraih 8.967 suara atau 13,63 persen dari total suara yang sah.

Wakil Sekretaris DPD Partai Golkar Tebing Tinggi Dani Eddi Elison mengatakan, hasil perolehan suara pasangan yang diusung partainya, memang tidak seperti yang diperkirakan. Partai Golkar adalah pemenang pemilu legislatif di Tebing Tinggi.

Dari 25 jumlah kursi DPRD, Partai Golkar meraih sembilan kursi, atau yang terbanyak. Partai lain paling banyak hanya tiga kursi, seperti Partai Indonesia Baru (PIB), PDI Perjuangan, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Kami harus introspeksi diri, mengapa bisa kalah. Menurut saya ini bukan lagi kalah telak, tetapi terlalu telak, ujar Dani.

Penghitungan suara di Desk Pilkada Tebing Tinggi, pasangan Abdul Hafiz Hasibuan-Syahril Hafzein yang didukung PDI P, PPP, PBR, PBB, dan Partai Demokrat meraih suara terbanyak dengan 38.503 (59,5 persen).

Sementara pasangan Amril Harahap-Nelson Parapat yang didukung Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPIB), Partai Damai Sejahtera (PDS), PNBK, dan Partai Pelopor meraih 16.737 suara (26,8 persen).

Menurut Kepala Desk Pilkada, Tarmidzi Simanjuntak, penghitungan suara kini telah selesai. Dari 94.492 Daftar Pemilih Tetap, 30.436 pemilih di antaranya tidak menggunakan haknya. Akan tetapi, tidak semuanya golput karena dari jumlah sebanyak itu ada juga karena kertas suara rusak, kata Tarmidzi. (bil)

profil

Kota Tebing Tinggi

SILAKAN datang ke Tebing Tinggi. Cobalah lemang kami. Undangan ini berlaku bagi siapa saja yang berniat mengunjungi daerah yang namanya cukup banyak dipakai di Pulau Sumatera itu. Lemang, makanan khas Minang, juga menjadi trademark Kota Tebing Tinggi. Sejak zaman kolonial Belanda, lemang masuk kota ini melalui salah seorang pengungsi dari Sumatera Barat. Hingga kini, makanan yang terbuat dari beras ketan dan santan kelapa itu banyak diproduksi secara rumahan di kawasan Jalan KH Ahmad Dahlan, Kecamatan Padang Hulu.

ADA cukup banyak industri rumahan di Tebing Tinggi. Apalagi, kota ini dikenal sebagai wilayah yang mengandalkan industri dan perdagangan. Sebagai penyumbang kegiatan ekonomi terbesar, sektor industri tidak bisa mengesampingkan keberadaan industri-industri kecil dan rumahan yang tersebar di tiga kecamatan. Kedua jenis industri ini yang digolongkan sebagai usaha kecil menengah (UKM) dan hingga tahun 2001 mencapai 263 unit dari total 289 perusahaan, mendukung sektor industri pada umumnya.

Industri kecil dan rumahan banyak memilih jenis makanan sebagai produk seperti mi, kerupuk, dan gula merah. Sementara industri besar dan sedang adalah pengolahan karet (crumb rubber) dan tapioka. Bahan baku getah karet didatangkan dari luar Tebingtinggi, umumnya dari Kabupaten Labuhan Batu dan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Komoditas ini kemudian diolah oleh tiga perusahaan yang dua di antaranya berlokasi di Kecamatan Padang Hilir dan satu di Kecamatan Rambutan. Hasil olahan karet mentah berupa SIR (Standard Indonesia Rubber) atau karet setengah jadi yang diminati oleh Korea, Jepang, Cina, Amerika Serikat, serta negara-negara Eropa.

Jika industri pengolahan karet murni mengandalkan bahan baku dari luar, industri tepung tapioka justru memakai ubi kayu lokal sebagai bahan dasar pembuatan. Produk tapioka ini selain untuk konsumsi lokal dan regional, sekitar 20 persen dipasarkan ke Malaysia. Pelaksanaan ekspor belum langsung oleh perusahaan tepung tapioka tersebut. Pemasaran dilakukan dengan menumpang pada perusahaan lain. Itu dilakukan bukan karena kendala biaya, melainkan lebih pada ketidakmampuan manajerial perusahaan bersangkutan.

Letak geografis Kota Tebing Tinggi yang diapit wilayah kaya sumber daya alam seperti Kabupaten Deli Serdang, Kota Pematang Siantar, dan daerah lain di Sumatera Utara serta Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menjadi peluang potensial menggerakkan roda perekonomian. Lalu lintas antarkota menjadikan wilayah ini daerah transit.

Peluang ini cukup dilirik pengusaha lokal. Mereka membuat semarak kegiatan ekonomi Tebing Tinggi dengan mendirikan toko dan rumah makan. Jasa perbankan hadir melayani penduduk melalui sejumlah bank di pusat kota, seperti BNI, Bank Mandiri, dan Bank Central Asia. Satu peluang ekonomi yang masih kurang direalisasikan adalah penyediaan jasa penginapan atau hotel. Hanya ada dua hotel kelas melati di pusat kota. Meski hanya dua jam perjalanan darat dari Kota Tebing Tinggi ke Kota Medan yang kaya akan fasilitas penginapan, bukan berarti kota kecil ini tidak butuh penginapan. Adanya penginapan yang layak bisa jadi membantu menjaring pendatang transit di kota ini untuk sekadar melepas lelah dan menikmati suasana kota, yang tergolong salah satu kota tua di Sumatera Utara.

Besarnya ketergantungan pada industri dan perdagangan terlihat dari nilai kegiatan ekonomi daerah setiap tahunnya. Pada tahun 2001, dari total Rp 836,3 miliar kegiatan ekonomi yang dihasilkan, 23 persen berasal dari industri pengolahan. Dari nilai industri tersebut, industri besar dan sedang mendominasi dengan pangsa pasar 20 persen. Dari 20 persen itu, 19 persen disumbang oleh industri karet. Delapan golongan industri lain, seperti makanan, tekstil, dan kertas, menyumbang satu persen. Setelah sektor industri di tempat pertama, perdagangan besar dan eceran di tempat berikutnya menyumbang sekitar 18 persen.

Maraknya industri kecil dan rumahan juga terlihat dari banyaknya rumah-rumah penduduk yang menggeluti usaha pembuatan sapu ijuk, alat-alat dapur dari logam, dan arang kayu. Jenis usaha lain yang cukup membutuhkan kreativitas tinggi adalah pembuatan mebel rotan. Sayangnya, keterbatasan kreativitas perajin mebel menyebabkan model produk tidak berkembang. Ini menjadi salah satu penyebab pasar kurang merespons mebel rotan Tebing Tinggi.

Sebagai daerah yang mengandalkan perputaran ekonomi dari industri dan perdagangan, Tebing Tinggi belum bisa memberi pelayanan terbaik untuk itu. Dari empat pasar besar di kota ini, tiga di antaranya lebih banyak menjual kebutuhan makanan pokok. Satu pasar lainnya khusus menjual kain. Belum ada pasar grosir atau pusat perbelanjaan yang menyediakan segala kebutuhan. Meski pemerintah kota melalui Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi menginginkan hal itu terwujud, belum ada investor yang tertarik menanamkan uangnya membangun pusat perbelanjaan. Saat ini, segala kebutuhan penduduk tersedia di toko-toko kecil yang umumnya di pusat kota.

Sektor industri dan perdagangan memang membutuhkan investor untuk pengembangannya. Apalagi, pemerintah kota tidak memprioritaskan keduanya dalam pembangunan. Dalam belanja pembangunan pemerintah yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun 2003, sektor perdagangan, pengembangan usaha daerah, keuangan, dan koperasi menempati tempat kedelapan dari 13 sektor. Dana yang dikucurkan sebesar Rp 547 juta atau 1,2 persen dari total belanja pembangunan Rp 46,1 miliar. Dari Rp 547 juta tersebut, hampir 90 persen dianggarkan untuk proyek penyertaan modal atau saham pemerintah yang diwujudkan antara lain dengan pemberian modal usaha bagi UKM, biaya pendidikan dan latihan (diklat), bantuan pengadaan peralatan, dan pameran perdagangan. Selain dana APBD, beberapa perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di kota ini seperti PT Askrindo dan PT Jasa Marga turut memberikan bantuan berupa modal bergulir, khususnya kepada pengusaha UKM setiap tahun. Palupi P Astuti/Litbang Kompas

Rumah Baca Sartika Just Open!!

Salaam Juang!

Rumah Baca Sartika ialah rumah baca pertama dan satu-satunya di kota Tebingtinggi Deli *dan satu-satunya tempat umum penyedia jasa perpustakaan di kota tersebut! * baru saja dibuka.

Para pengurus adalah orang-orang yang dulunya aktif di kegiatan kepanduan / pramuka dan sangat peduli terhadap peningkatan pelayanan pendidikan di Indonesia, terutama di wilayah Sumatra Utara, khususnya Tebing Tinggi Deli.

Sebagai daerah transit, kota ini lebih dikenal sebagai kota dagang dengan mayoritas penduduk muslim yang berasal dari beragam etnis antara lain Melayu, Minangkabau, Batak dan turunan Tionghoa.

Saking minimnya dukungan dari pemerintah, maka Rumah Baca Sartika ini pun sangat menyedihkan kondisinya. Dengan koleksi dan fasilitas yang sangat terbatas, untuk sementara ini menempati lokasi di Jl. Asrama 19 - Bagelen, Tebing Tinggi Deli 20346 (lihat peta. 85 kms sebelah tenggara Medan, ke arah Danau Toba).

Sistem pengelolaan Rumah Baca saat ini telah mendapat sumbangan software temu kembali informasi, namun sayangnya belum memiliki PC dan ruang yang memadai.

Bagi rekan-rekan yang berminat menyumbangkan buku-buku, majalah, tenaga dan fasilitas lain, silahkan segera hubungi Ibu Nana atau Bapak Roesman di telp. 0621.23967 atau langsung ke alamat: Jl. Asrama 19 - Bagelen, Tebing Tinggi Deli 20346

Website akan di-update dengan berita-berita kegiatan dan tampilan foto-foto sehingga dapat membantu rekan-rekan melihat gambaran Rumah Baca Sartika. Saran dan dukungan akan sangat membantu.

Terima kasih.